Detail Aspirasi

21 Mar 2016

Kesenjangan Sosial Mengancam Jakarta

 Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu nyata di DKI Jakarta. Dengan Gini ratio atau indeks jurang ekonomi mencapai 0,41, kini Jakarta menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Bahkan melebihi rasio ketimpangan nasional yang 0,38. Makin besar angka Gini ratio, makin besar tingkat ketimpangan. Angka 0,4 hingga 0,6 sudah termasuk kategori lampu kuning. Jika mencapai lebih dari 0,6 adalah rasio berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi tidak lagi bisa ditoleransi.

Parameter kesenjangan ini tidak bisa dianggap enteng. Butuh perhatian serius apabila Jakarta suatu ketika tidak ingin pembangunannya terkendala karena ekses ketimpangan dan kesenjangan ekonomi.

Ketimpangan yang begitu nyata berdampak pada sumber daya manusia, yakni terganggunya indikator kesehatan dan sosial seperti usia harapan hidup, angka kemiskinan, putus sekolah, angka kematian ibu dan anak, angka ke­sakitan, atau angka kejadian depresi dan gangguan mental.

Ekses paling nyata dari kesenjangan adalah tindak kriminal. Awal tahun ini, Jakarta menempati pering­kat terakhir di antara 50 ko­ta besar di dunia dalam hal keamanan berdasarkan riset dari The Economist Intelli­gen­ce Unit. Benar bahwa indikator yang dipakai dalam riset tersebut bukan semata tingkat kriminalitas jalanan.

Namun, warga Jakarta pasti tidak bisa mengingkari bahwa kejahatan di jalanan seperti kasus perampasan, penipuan, begal, perampok, pelecehan seksual hingga pembunuhan adalah menu keseharian. Kerawanan sosial berupa konflik antarkelompok juga berpotensi pada kondisi ketimpangan ekonomi yang terjadi antarkawasan maupun antarkelas warga.

Demikian rangkuman pendapat sejumlah tokoh yang dihubungi Suara Karya, antara lain sejarawan Betawi JJ Rizal, Ketua Komisi D DPRD DKI Muhammad Sanusi, pengamat sosial perkotaan Djoko Setijowarno, dan Wakil Gubernur DKI Djarot Saeful Hidayat, secara terpisah, di Jakarta, Minggu (20/3).

Pemprov DKI gagal me­ng­atasi kesenjangan sosial itu. Berbagai kebijakan Gu­bernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang terkait peningkatan kesejahteraan sosial lebih berpihak kepada pemilik modal besar.

”Sengaja mematikan warga dan pengusaha kecil. Kebijakan penertiban dan penggusuran tanpa memberi solusi yang tuntas menambah kesenjangan ekonomi. Proyek-proyek penunjukan langsung (PL) dalam APBD DKI 2016 ditiadakan. Semua dibuat paket-paket yang nilainya besar agar tidak bisa dijangkau pengusaha kecil,” kata JJ Rizal.
Sementara itu, kesenjangan yang lebar menyebabkan ketidakharmonisan moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat Ibu Kota. Akibatnya masih sering terjadinya tawuran, pelecehan seksual, korupsi, dan penyalahgunaan narkoba. Untuk meminimalisasi ketidakharmonisan moral dan sosial itu, Sanusi mendesak Pemprov DKI agar membuat kebijakan yang pro rakyat dan pengusaha kecil. Juga tidak melupakan pentingnya perhatian terhadap budaya yang dapat menghaluskan jiwa warga Jakarta.
Menurut Muhammad Sa­nusi, sekarang ini Pemprov DKI belum menempatkan budaya nasional, terutama budaya Betawi, dalam kehidupan warga Jakarta. Janji Pemprov DKI yang mewajibkan pengembang memasang ornamen budaya Betawi di gedung-gedung yang dibangun belum terwujud.
Selain minim ornamen budaya, gedung-gedung di Jakarta belum mengedepankan pergelaran musik, tari hingga makanan budaya nasional. Justru gedung-gedung banyak mengedepankan budaya asing.
”Kalau bukan kita, siapa yang melestarikan budaya? Ke­pada generasi muda harus kita tanamkan budaya kita sendiri, agar lebih santun, cerdas, dan harmonis dalam kehidupan so­sial, sehingga tidak ada perilalu me­nyimpang akibat kesenjang­an si kaya dan si miskin,” katanya.
Pemerhati perkotaan Joko Setijowarno melihat, kesenjangan yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indone­sia belum masuk pada kondisi mengkhawatirkan. Namun, perlu diakui, kesenjangan itu kian mencolok dan berdampak pada kecemburuan dan berpotensi terjadinya kejahatan.
Kondisi itu terjadi di banyak kota dan negara, termasuk Jakarta, dan sepanjang mampu diantisipasi pemerintah, kekhawatiran itu bisa diatasi. Ini adalah fenomena kota-kota besar yang modern, di mana ada yang berhasil berjuang dan sukses dan yang kalah akan terus tersingkir dan masuk kelompok miskin.
Sekarang ini kesenjangan sosial bukan hanya terjadi di kota-kota besar. Di banyak daerah pun kesenjangan mulai terasa. Faktor penyebabnya cukup beragam, mulai soal pembangunan yang tidak merata, infrastruktur pedesaan yang kurang berimbang, lapangan pekerjaan, pendidikan sampai soal gaya hidup.
Kecenderungan perbedaan ini terjadi dan pemerintah pusat maupun daerah sudah sadar. Hanya saja, berbagai upaya yang dilaksanakan untuk memangkas kesenjangan belum maksimal. Artinya, upaya itu telah dilakukan, antara lain membuka lapangan kerja baru di sejumlah daerah dengan pengembangan infrastruktur.
Upaya membangun jalan dan pusat industri, mengembangkan transportasi, dan mendorong lajunya pertumbuhan kota diharapkan mampu menyerap lapangan kerja, sehingga terjadi keseimbangan. Karena itu, Joko mengaku kurang setuju kalau dikatakan, kesenjangan di kota-kota besar sudah mengkhawatirkan. Bahkan ada yang mengatakan, kesenjangan sosial sudah lampu kuning. Menurutnya, lampu kuning itu arti peringatan dan bukan sesuatu yang mengkhawatirkan.
Agar tidak terjadi kesenjangan yang berlebih, seharusnya semua elemen masyarakat tahu diri, mengukur diri, berada pada porsi dan kemampuan masing-masing. Jangan karena adanya orang kaya dan miskin, sedikit uang dan banyak uang, lalu langsung dikatakan, sudah mengkhawatirkan.
Kehidupan di kota memang terjadi kesenjangan dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan, asal semua elemen masyarakat mampu menempatkan posisi­nya. Pemerintah juga diharapkan cepat tanggap untuk mencari solusi dan jangan hanya bicara soal khawatir.  (yon/sam)

DATA KESENJANGAN SOSIAL

*             Total penduduk DKI Jakarta 10,6 juta jiwa

*             Penduduk miskin 412,790 jiwa (4,09 persen)

*             Ranking 50 kota besar di dunia

*             Rasio ketimpangan nasional 0,38

*             Gini ratio (tingkat ketimpangan) DKI 0,4

*             Gini ratio mencapai 0,6 berbahaya 

Suara Karya