Detail Aspirasi

19 Apr 2016

Macet dan Banjir Jakarta Picu Ekonomi Biaya Tinggi

JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mesti segera membenahi persoalan kemacetan lalu-lintas dan ancaman banjir besar, ketimbang menghabisan energi mengurusi kasus teluk Jakarta. Sebab, jika dua masalah akut itu tak tertangani akan menurunkan daya tarik Ibu Kota RI akibat ekonomi biaya tinggi, sehingga bisa mengurangi minat investasi yang akhirnya berujung kepada peningkatan pengangguran dan masalah sosial lain.

Di samping dua persoalan itu, Ahok juga harus secepatnya menciptakan lapangan kerja dan sumber nafkah bagi warga bekas gusuran yang ditampung pada sejumlah rumah susun (rusun). Jika tidak, rusun-rusun tersebut akan menjadi daerah kumuh baru dengan tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengemukakan Pemprov DKI Jakarta bisa memanfaatkan keunggulan dari APBD yang besar untuk pembangunan kota modern berkelanjutan, bebas macet, dan aman dari ancaman banjir. Jika tidak, macet dan banjir akan mengakibatkan infrastruktur Jakarta buruk sehingga tidak menarik minat investor.

Ia mengingatkan Jakarta mesti belajar dari pengalaman sejumlah kota di negara maju yang secara perlahan ditinggalkan warganya karena infrastruktur yang buruk. Misalnya, Detroit di AS yang akhirnya menjadi kota bangkrut akibat perencanaan kota yang buruk.

“Penataan kota Jakarta selama ini cenderung tambal-sulam dan tidak menyelesaikan persoalan mendasarnya. Jika macet dan banjir tidak tertangani, serta dan persoalan rongga tanah terus membesar karena minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) maka dalam jangka menengah fondasi kota bisa rusak, sehingga infrastrukturnya buruk,” kata Nirwono saat dihubungi, Jumat (15/4).

Sebelumnya, terkait dengan pembangunan tanggul di pantai utara Jakarta, pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Moestaqiem Dahlan, mempertanyakan bagaimana mau menahan air laut jika sumber masalahnya adalah air tanah dipompa habis sehingga tanah di Jakarta menurun terus karena rongga di bawah tanah membesar. Ditambah dengan tidak dibuka RTH yang cukup untuk air hujan mengisi kembali rongga bawah tanah Jakarta.

“Jelas sudah terbukti akibat mempompa air tanah DKI, intrusi air laut ke dalam wilayah Jakarta Utara sudah masuk ke wilayah Monas saat ini. Lihat perencanaan tata kota yang amburadul. Seluruh RTH dilepas untuk konstruksi bangunan Termasuk Taman Ria Senayan,” papar dia. Memang, kata Nirwono, saat ini Jakarta masih memiliki keuntungan sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan.

Namun, perlu diingat bahwa bukan tidak mungkin apabila ibu kota pindah ke tempat lain, seperti yang pernah disampaikan Presiden Soeharto tempo dulu yang ingin memindah pusat pemerintahan ke Jonggol, Bogor, Jawa Barat.

“Jika itu terjadi daya tarik Jakarta berkurang, ditambah dengan infrastruktur kota yang buruk, tidak mustahil dalam jangka panjang akan ditinggalkan warganya. Dan, bila tren perpindahan warga itu terjadi tidak mungkin untuk menarik mereka kembali,” kata Nirwono.

Paradigma Holistik
Sedangkan Guru Besar Fakultas Teknik UGM Yogyakart, Djoko Sujono, mengatakan problem nyata yang harus dibenahi saat ini untuk menyelamatkan Jakarta dalam periode 5-15 tahun ke depan justru adalah ancaman dari banjir air hujan. “Proses yg sudah berjalan pada revitalisasi sungai dan setu oleh pemprov saat ini masih perlu diintensifikasikan secara total dari hulu ke hilir, beserta pembangunan bendungan secara holistik,” tukas Djoko.

Apabila Pemprov tidak menyadari kondisi infrastruktur yang buruk, fondasi kota yang terganggu diabaikan, tidak berbenah ke paradigma holistik, maka tren perpindahan penduduk tidak mustahil akan terjadi. Sementara itu, Nirwono juga mengingatkan saat ini Jakarta menghadapi persoalan pengangguran yang tinggi, khususnya angka pengangguran terbuka, selain juga ketimpangan pendapatan yang sangat lebar.

“Jangan dikira jika sudah menggusur warga dipindah ke rusun persoalan selesai. Bila tidak dapat menciptakan sumber penghasilan bagi warga di rusun, mereka mau makan apa? Ini sebenarnya bom waktu yang mesti diperhatikan agar tidak meledak menimbulkan masalah sosial lainnya,” ungkap dia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran Jakarta 2015 mencapai 8,36 persen, jauh diatas rata-rata Indonesia.

Jumlah kemiskinan juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012, jumlah penduduk miskin sebanyak 363.200 orang, dan pada menjadi 398,920 orang atau meningkat 9,83 persen. Ketimpangan ekonomi DKI Jakarta secara nasional juga tertinggi, berdasarkan indeks gini mencapai 0,44. Artinya, kelompok kaya menguasai 44 persen pendapatan DKI Jakarta. YK/SB/pin/nis/WP

koran jakarta.com